Pengalaman Merawat Keluarga Yang Terpapar Covid-19


"Wah si mbak nya ini yang keluarganya pada kena Covid ya? Duduknya agak jauhan ya mba dengan yang lain" 

Teguran pedagang pecel ayam diujung komplek malam itu sempat bikin saya bete dan menyesal kenapa harus membeli makanan disini. Udah mau 2 tahun lho si Covid ini ada, tapi stigma masyarakat masih tak berubah. Tetap mengucilkan keluarga si pasien. Tanpa memberikan kesempatan kepada saya untuk menjelaskan. 

Saya memang enggak pernah menyangka kalau Virus Corona akhirnya bakal mampir ke anggota keluarga saya pada bulan Februari lalu, setelah setahun lebih berkeliaran di negara kita. Virus ini datang dan menyerang kedua orangtua saya termasuk adik dan keponakan saya yang masih berusia 2 tahun karena mereka tinggal di 1 rumah yang sama. 

Awalnya adik saya yang lebih dulu mengalami demam pada pertengahan Februari 2021 lalu, badannya lemas disertai batuk dan pilek. Sempat periksa ke dokter dan hanya diberi obat penurun panas juga obat batuk, namun semakin hari kondisinya justru semakin menurun.

Di tengah kondisinya yang kurang fit tersebut, adik saya akhirnya berinisiatif untuk melakukan Rapid Antigen di Rumah Sakit tempatnya bekerja, hasil Rapid Tes nya ternyata REAKTIF. Sebagai alumni pasien reaktif, saya menganjurkannya untuk SWAB PCR agar lebih yakin pada hasil yang sebenarnya.

Tak lupa juga mengingatkan kepada ibu dan ayah saya untuk menjaga jarak dan mengurangi kontak langsung dengan adik saya sebelum hasil PCR adik saya keluar. Namun sebelum kami bertindak lebih banyak lagi, hasil SWAB PCR adik saya menunjukkan hasil POSITIF, begitupun ayah dan ibu saya plus keponakan saya setelah mereka melakukan Tes SWAB Antigen di Klinik dekat rumah.

Ketika Ayah, Ibu, Adik dan Keponakan Saya Terpapar Covid-19....

Ya Allah...cobaan apalagi ini, baru sebulan yang lalu kedua orangtua saya tertimpa sebuah musibah, kenapa sekarang diberi ujian lagi? saya menangis mendengar kabar mengejutkan itu apalagi kedua orangtua sudah masuk ke kategori lansia (lanjut usia) dan memiliki riwayat penyakit lainnya, ibu saya memiliki penyakit maag akut dan ayah saya pernah kena tumor, memang sih bukan kormobid tapi semoga saja mereka bisa tetap menjaga imunnya agar tetap stabil.

Saya, suami dan anak-anak yang tidak tinggal serumah dengan mereka, langsung berdiskusi untuk menghadapi kondisi ini. Antara panik, khawatir, sedih dan minder bakal dikucilkan oleh masyarakat sekitar, berkecamuk menjadi satu. Tapi apapun kondisinya, saya dan suami sepakat untuk melakukan apa saja yang wajib dilakukan, buang rasa stress jauh-jauh meskipun nyali kami sangat ciut. Tetap tenang dan tangani dengan cepat itu kuncinya!


Melapor Kepada RT/RW Setempat Jika Anggota Keluarga Terpapar Covid-19

Sehari setelah mereka dinyatakan positif, saya menghubungi RT/RW setempat untuk melaporkan kondisi keluarga saya, meskipun sebelumnya saya sempat ragu dan minder dengan adanya musibah ini. Lalu apa yang terjadi setelah saya melapor? Warga di lingkungan RT tempat ayah saya tinggal justru sangat mensupport keluarga saya. Mulai dari pengiriman makanan matang yang dijadwalkan secara bergilir selama 14 hari, hingga bantuan Pak RT untuk mendatangkan Tim Satgas Covid kerumah kami.

Apa yang dilakukan Satgas Covid di rumah kami? Dengan berpakain APD lengkap berwarna putih, mereka mulai memeriksa kondisi kesehatan kedua orangtua saya juga kondisi adik dan keponakan saya. Melakukan SWAB PCR ulang dan mencatat semua data yang ada dari Kartu Keluarga dan KTP. Petugas juga menyemprotkan disinfektan ke seluruh ruangan yang ada di rumah orangtua saya

Dokter dan perawat yang betugas memeriksa juga memberikan beberapa macam obat untuk meringankan rasa sakitnya. Dalam 14 hari ke depan, Satgas ini juga akan kembali datang untuk melakukan SWAB tes lagi pasca isolasi mandiri selesai. 

Selama mereka isolasi mandiri dirumah, saya cuma bisa mengantarkan keperluan ibu, bapak dan adik dengan meletakannya di pagar besi depan rumah, tak bisa bertemu langsung apalagi bicara dengan mereka kecuali lewat telepon dan video call saja. Sungguh menyedihkan!


Ambulan Satgas Covid-19

Selalu Memantau Kondisi Pasien Secara Berkala 

Meskipun saya tidak serumah, saya terus memantau kondisi Ibu, Ayah dan adik saya melalui video call setiap 1 jam sekali, dan dihari kedua positif, kondisi ibu saya menurun drastis hingga tak bisa bernafas dengan baik, dadanya sesak, buang-buang air tak kunjung berhenti, mulut pahit dan lambungnya terasa perih. 

Mendengar laporan adik saya tersebut, tetangga terdekat langsung gercep meminjamkan sebuah tabung oksigen untuk ibu saya, dan Alhamdulillah ibu saya bisa bernafas kembali meskipun masih sesak.

Namun ketika hari semakin sore, kondisi ibu saya semakin melemah, melihatnya terengah-tengah saat video call melalui handphone, saya merasa tidak bisa tinggal diam dan langsung menghubungi Tim Satgas Covid untuk memeriksa kondisi ibu saya hari itu. Tak lama berselang, tim Satgas datang untuk membawa ibu saya ke Rumah Sakit Rujukan Covid yang telah disiapkan.

Ditengah kondisi yang menegangkan itu, saya masih sedikit berbahagia ketika salah seorang petugas medis memberikan hasil SWAB PCR ibu saya yang bertuliskan NEGATIF, sementara adik, keponakan dan Ayah saya tetap POSITIF. Berarti ibu saya bisa dirawat diruang perawatan non covid saat tiba di Rumah Sakit nanti, leganya hati saya saat itu. 

Tim medis yang membawa ibu saya dengan ambulan menyuruh kami mengikuti dari belakang, dengan berderai air mata saya dan suami mengantarkan ibu saya ke Rumah Sakit tepat di waktu hari ulang tahun saya. Yang tadinya mau kami rayakan dengan makan bersama dirumah kok malah jadi begini huhuhu....

Lalu bagaimana dengan kondisi ayah dan adik saya? mereka melakukan isolasi dirumah karena masih bisa mobilitas, meskipun ayah saya menderita batuk yang tak kunjung berhenti. Jika melihat kondisi adik saya saat itu, saya agak sedikit lega menitipkan ayah saya padanya karena dia terlihat sudah membaik. Sedangkan saya yang akan mengurus ibu di Rumah Sakit


IGD Rumah Sakit tempat mama dirawat


Siapkan Dokumen Lengkap Pasien Yang Dibutuhkan Untuk Proses Administrasi

Selain menyiapkan satu tas pakaian ganti, masker medis dan hand sanitizer untuk ibu saya di Rumah Sakit, saya juga membawa berkas lengkap hasil pemeriksaan SWAB sebelumnya, Fotokopi KTP pasien, Kartu Keluarga, Kartu BPJS dan kartu Asuransi Kesehatan. Semua saya bundle jadi satu agar mudah mencarinya saat dibutuhkan. 

Begitu tiba di Rumah Sakit, ibu saya langsung dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) diikuti oleh suami saya yang bersiap mengurus kelengkapan administrasi di bagian pendaftaran. Sementara saya hanya bisa menunggu di mobil bersama Arsya dan kedua anak saya lainnya. 

Hari berganti malam dan kami tidak bisa menemui ibu di IGD, karena menurut pihak Rumah Sakit, ibu saya harus di SWAB ulang disana sementara surat SWAB dengan hasil negatif yang saya bawa, tidak ada artinya sama sekali. Buktinya...ibu saya tetap harus masuk IGD isolasi. 

Malam pertama ibu dirawat, kami pulang dengan rasa penasaran yang tinggi karena sejak ibu saya masuk ke IGD, tak ada satupun kabar berita yang dikirimkan kepada keluarga pasien, sungguh terlalu!

Esok paginya kami kembali ke Rumah Sakit untuk mengantarkan handphone ibu yang tertinggal dirumah, lumayan kan kalau handphone tersebut bisa dipegang sama ibu, saya bisa mengetahui seperti apa kondisinya kapanpun saya mau. Setelah Handphone tersebut saya titipkan ke suster yang sedang berjaga di IGD, alhamdulillah komunikasi saya dengan ibu menjadi lancar.

Yang tidak saya syukuri adalah kondisi ibu yang masih sesak dan harus menggunakan oksigen berkantung selama beberapa hari kedepan, ibu juga masih tidak mau makan karena mulutnya terasa sangat pahit, aduh bu gimana mau cepat fit dan bagus imunnya kalau tidak ada makanan yang masuk. Seandainya saja saya bisa masuk dan bisa menyuapinya...hati saya tambah nelongso.


Ruang perawatan isolasi pasien Covid--19


Beri Support Pada Pasien Agar Imunitasnya Kembali Meningkat

Setiap kembali kerumah, saya tak pernah bisa tertidur pulas, selalu teringat keadaan ibu disana, pasti beliau merasa kesepian, sendiri dan stress sehingga sesak nafas dan nyeri dadanya tak kunjung hilang. Ibu juga merasakan mual karena diare yang ta kunjung henti. 

Melihat kondisi ibu yang tidak ada perubahan, akhirnya saya menelpon beliau setiap kali jam makan tiba untuk merayu sekaligus memaksanya makan, namun ternyata ini bukan hal yang mudah dan saya saya tidak boleh patah semangat, semua saya lakukan demi kebaikan ibu agar bisa pulang kerumah dalam keadaan sehat

Kemudian Dihari ketiga, hasil SWAB PCR ibu keluar dan hasilnya POSITIF, impian saya untuk memindahkan ibu ke ruang rawat inap biasa akhirnya kandas. Saya pasrahkan semuanya kepada Allah SWT, terlebih saat dokter menyampaikan bahwa ibu butuh ruang ICU Isolasi karena oksigen yang digunakan sudah jenis NMR, saya menyerahkan semuanya pada dokter dan pihak Rumah Sakit, yang penting ibu sembuh. Akhirnya ibu saya dirawat di ICU selama 3 hari sebelum dipindahkan ke ruang perawatan isolasi selama 13 hari.

Untuk yang isolasi mandiri dirumah, saya juga mengirimkan vitamin, obat juga stok makanan dan keperluan dapur,  karena saya yakin mereka juga enggak tahan dengan kondisi mereka yang harus dirumah saja, ayah dan adik saya pasti ingin segera sembuh dan bisa beraktifitas lagi.


Kondisi ibu saya hari ke-4


Perhatikan Kesehatan Diri Pribadi Saat Merawat Orang Sakit

Di hari ke 5 Ibu dirawat, saya mulai sedikit oleng, akibat kelelahan yang amat sangat karena harus bolak balik ke Rumah Sakit sambil membawa bayi 8 bulan, hingga akhirnya saya jatuh sakit beberapa hari dan harus absen ke Rumah Sakit. Urusan keperluan ibu di Rumah Sakit, saya antarkan lewat delivery service atau dititip ke teman-teman sekitaran Bekasi yang siap membantu.

Saya paham semua orang jadi takut mendekat setelah mendengar nama penyakit ini. Tapi bukan berarti si pasien dan keluarganya tidak butuh support. Bukan hanya pasien yang ingin segera sehat, kitapun harus tetap sehat ketika merawat orang sakit. Tetap terapkan 3M saat berada di Rumah Sakit dan konsumsi makanan bergizi seimbang juga suplemen jika diperlukan. 

Segera mengganti baju dan mandi setelah pulang dari Rumah Sakit wajib saya lakukan untuk menghindari penularan, apalagi saya masih memiliki anak dengan usia batita (bawah tiga tahun), untungnya mereka semua tetap sehat ketika harus saya bawa-bawa ke Rumah Sakit setiap hari. 

Persiapkan Mental dan Dana Darurat 

Selama ibu dirawat, pihak Rumah Sakit akan memberikan laporan kondisi pasien terkini melalui chat di WA setiap paginya, isi pesannya pun beragam, hari ini berita baik, besoknya belum tentu, bisa jadi berita menyedihkan karena kondisi pasien yang tidak stabil. Seminggu pertama, saya masih belum siap mental, makin kesini mental saya mulai kuat dan menerima cobaan ini dengan lapang dada.

Sebab kalau bukan saya sendiri yang fighting, siapa lagi yang bakalan berjuang untuk kesehatan keluarga saya, bahkan saudara terdekat pun hanya bisa memberi nasehat yang sama sekali tidak saya butuhkan di saat itu. Seandainya mereka tahu kalau yang saya butuhkan itu bukan hanya nasehat tapi doa terbaik dan action. Sayangnya non sense! Untuk biaya pun tidak sedikit yang telah kami keluarkan untuk keperluan mereka, yang penting semua bisa sembuh dan berkumpul kembali. Uang masih bisa dicari

Sambut Mereka Dengan Pelukan Paling Hangat Saat Kembali Kerumah

Virus Corona memang tak memandang usia, harta apalagi profesi, dia menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Setelah 2 hari di rawat di IGD, 3 hari di ICU, dan 13 hari di ruang perawatan isolasi, akhirnya ibu bisa kembali bersama kami, ketika menjemput ibu di hari ke 18 kemarin, ibu banyak bercerita tentang apa saja obat yang  diberikan oleh dokter. Juga bagaimana rasanya berada di ruang isolasi sendirian tanpa ditemani keluarga. 

Saat bisa melihatnya kembali kerumah, saya bersyukur kepada Allah SWT yang Maha Besar, Maha Penyembuh dan Maha Baik. Meskipun kondisi pemulihannya berjalan sangat pelan pasca terinfeksi, mulai Minggu lalu, ibu sudah bisa memasak kembali di dapur dan berkunjung kerumah kami, Alhamdulillah ayah dan adik sayapun berangsur membaik ketika mendengar kabar bahwa ibu boleh segera pulang karena sudah negatif.

Dari kejadian yang menimpa saya dan keluarga pada bulan Februari lalu, saya bisa menarik kesimpulan bahwa ternyata berpikir positif dan bersemangat, sukses membuat imunitas kita meningkat, karena kita harus percaya bahwa hati yang bahagia adalah obat. 

Keluarga saya

Jika suatu hari ada yang terinfeksi atau terpapar Covid-19 berasal dari orang-orang terdekat kalian, pliss jangan hanya di support dengan sebuah kalimat lewat smartphone saja, sebisa mungkin tawarkan bantuan apapun yang mereka butuhkan dan kita bisa melakukannya, karena sejujurnya yang paling dibutuhkan oleh keluarganya adalah action, bukan cuma ucapan dukungan basa basi belaka. 

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita kesehatan, menjauhkan kita dari Corona dan bisa selalu berkumpul dengan formasi yang lengkap. Semoga cerita ini bermanfaat ya teman-teman...







4 komentar

  1. Betapa kuat dan tegar nya dirimu, Semoga selalu diberikan perlindungan ,kesehatan serta rezeki dari Allah

    BalasHapus
  2. Masya Allah, mba Indri.
    Insya Allah semua lelahmu menjadi lillah..

    Doain aku juga yang lagi berjuang merawat ayah yang sedang terpapar Covid-19.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tetap semangat bro...karena mereka butuh orang-orang yang pundaknya kuat seperti kita agar kembali fit

      Hapus

Terimakasih telah berkunjung ke www.indrifairy.com
Jangan lupa tinggalkan komentar ^_^